Literary Works

Monday, May 23, 2011

The Last Leaf



Nor Hendriady is an English teacher at State Islamic Junior High School  Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara, South kalimanatan, provides a synopsis of a novel entitled "The last leaf". The synopsis of the story is as follows:



Synopsis of “The Last Leaf”
In May of eighteenth century, in an old Greenwich Village, Sue and Johnsy meet. They become friends and rent an apartment together to share expenses.
In November, Johnsy becomes ill with pneumonia. Her illness lingers. She becomes frail and loses hope of recovering. Outside her window is an old ivy vine on which only a few leaves remain. Johnsy has become so disheartened that she refuses to fight her way back to health and convinces herself that when the last leaf falls off the vine, she will die.
It is the day of "house calls" for doctors, and the doctor tells Sue that if Johnsy is to get well, she must get her mind on something other than her sickness. Sue is worried; she goes downstairs and reveals her fears to Mr. Behrman, a grizzled, unsuccessful artist who dreams of one day painting a masterpiece. Only one leaf remains on the vine now, and even Mr. Behrman is worried that tonight it will fall victim to the wind and rain.
The next morning, when Sue and Johnsy look out the window, the last leaf is still there. Johnsy thinks about her situation and convinces herself that fate caused the leaf to stay on the vine so that she would not die. With this change in attitude, Johnsy gradually gets well. The doctor comes and verifies Johnsy's recovery. The doctor also tells Sue that Mr. Behrman has pneumonia and is beyond help. He dies that same day.
Later that day, Sue discovers how Mr. Behrman became ill. She tells Johnsy that on the stormy night when the last leaf was about to fall, Mr. Behrman took a ladder, climbed the wall, and painted a true masterpiece a picture of the last leaf on the brick wall.


In line with the above story, Rantining Lestari attampts to describe the story by using Bahasa Indonesia in her Facebook status as quoted from a magazine "Koran lansia". The following description is the  brief story:
 

INSPIRING STORY

oleh Rantining Lestari pada 12 Mei 2011 jam 6:28
The Last Leaf
DAUN TERAKHIR

Di tahun 1967 New York adalah kota kumuh yang sangat memprihatinkan. Gedung-gedung tua berjejer. Apartemen yang sempit, tembok yang berjamur, dan orang-orang aneh menjadi ciri khas kota itu. Orang-orang aneh itu sebagian besar adalah para pelukis jalanan. Mereka mencari nafkah dengan melukis, baik itu melukis di kanvas maupun melukis di trotoar. Sebagai pelukis jalanan, mereka hanya mampu mencukupi makan tiap hari dan sewa apartemen yang murah.

Salah satu dari mereka adalah Marie. Dengan adiknya mereka berdua menyewa kamar yang sempit, yang sangat tidak layak untuk ditempati. Tempat tidur yang sudah busuk, dinding yang berjamur dan menyebarkan bau yang tidak enak, tapi apa boleh buat, uang yang mereka dapat tiap hari kadang untuk makan saja tidak cukup. Biarpun demikian, mereka pantang untuk melakukan sesuatu yang jelek atau melanggar hukum. Pernah ada yang menawari Marie dan adiknya, Joan, untuk memanfaatkan tubuh mereka demi uang, tapi mereka menolaknya mentah-mentah. Para pelukis di daerah itu memang memegang prinsip yang patut dibanggakan, mereka lebih memilih hidup miskin dan berkekurangan daripada berbuat sesuatu yang salah.

Para pelukis itu adalah orang Kristen. Setiap Minggu mereka selalu berkumpul untuk beribadah, meskipun tanpa Pendeta yang melayani, mereka memakai saat itu untuk saling bertukar cerita dan saling menguatkan. Jika ada yang kurang beruntung, mereka akan saling menopang dan saling berbagi.

Suatu saat, saat musim dingin menusuk kota New York, Joan jatuh sakit. Tubuhnya menjadi sangat lemah dan semakin parah. Untuk bangun dari tempat tidur saja dia tidak kuat. Dengan uang yang terkumpul dari para pelukis jalanan itu, Marie memanggil dokter, dan hasil pemeriksaan dokter sungguh mengejutkan. Joan menderita radang paru-paru, akibat dia selalu bekerja di luar menjual lukisan di trotoar, di tengah musim dingin, tanpa baju hangat yang layak. Untuk sembuh, Joan harus beristirahat total, makan yang cukup bergizi, dan yang terpenting adalah semangat hidup yang tinggi untuk melewati masa-masa kritis di tengah musim dingin. Ini menjadi masalah terbesar. Joan putus asa dan tidak mempunyai semangat hidup. Banyak teman datang untuk menguatkan dia, tapi percuma saja. Joan berpikir bahwa inilah akhir hidupnya. Dia tahu benar keadaannya. Dia tidak akan mendapatkan makanan yang bergizi, dia tidak akan mendapatkan kehangatan yang cukup untuk melewati musim dingin, dan tidak ada obat untuk membantu dia bertahan. Semakin hari dia semakin putus asa dan semakin lemah.

Marie sangat sedih akan hal ini.. Semua upaya sudah dilakukan untuk membesarkan hati Joan, tapi sia-sia. Joan tidak bergairah untuk makan, bahkan untuk berbicara dengan siapa pun. Dia hanya mengucapkan beberapa kata di pagi hari, yaitu ketika matahari terbit. Dia akan meminta Marie untuk membuka jendela kamar agar dapat melihat tanaman yang merambat di dinding tembok yang berhadapan dengan kamar mereka. Tanaman itu merupakan tanaman menjalar yang berdaun lebar, dan tanaman itu merupakan semangat hidup Joan satu-satunya. Setiap kali Marie membukajendela, Joan akan melihat tanaman itu dan sambil tersenyum lemah dia akan berkata, "Tanaman itu lucu sekali, dia tahu bahwa dia hanya tanaman kecil yang lemah, hanya dapat bergantung pada tembok yang kokoh itu. Tapi dia sombong sekali, mengira bahwa dengan bersandar pada tembok itu dia dapat melewati musim dingin yang ganas ini." Joan kemudian melanjutkan, "Suatu saat semua daunnya akan gugur dihantam angin musim dingin, saat itu, aku juga akan pergi bersama dia." Marie amat sedih jika mendengar Joan mengatakan ini.

Setiap pagi Joan selalu menghitung daun-daun itu. "Tujuh daun lagi," dan keesokan harinya, "Enam daun lagi", "Lima daun lagi", dan Joan semakin lemah dan lemah. Marie pun putus asa, tidak ada harapan sama sekali. Dia hanya dapat berdoa agar Joan tetap bertahan, dan setiap pagi dia akan membuka jendela dengan hati yang berdebar-debar, berharap masih ada daun di situ.

Suatu pagi, Marie tergoncang sekali ketika melihat hanya ada satu daun yang tersisa melekat di tembok itu. Joan tersenyum lemah, "Waktunya sudah dekat, malam ini angin dingin akan mengantar kami." Marie semakin pasrah, malam itu dia tidak tidur, seiring dengan terjadinya badai dia berdoa dan menangis. Angin mengguncang jendela-jendela dengan dahsyat. Marie tetap berlutut sambil berdoa dan menangis. Ia meminta suatu keajaiban, sesuatu yang dapat menahan kepergian Joan, karena dia amat mencintai adik satu-satunya ini. Akankah Joan pergi dan bergabung dengan segenap keluarga yang telah mendahului mereka? Ayah, Ibu dan adik-adiknya meninggal ketika terjadi kebakaran. Api menelan semua harta mereka. Setelah mereka bertahan hidup sekian tahun, akankah Joan meninggalkan dia juga?

Keesokan pagi adalah pagi yang menentukan. Dengan lemah Joan membuka mata dan meminta Marie membuka jendela agar dia dapat melihat tanaman itu. Dengan gemetar Marie membuka jendela, dan... ajaib! Daun itu masih melekat pada tembok. Mustahil! Padahal, semalam terjadi badai yang dahsyat, tetapi di pagi hari ini daun itu masih melekat pada tembok seakan-akan tidak terjadi apa-apa semalam. Joan tersenyum lagi dan berkata, "Aku masih mempunyai satu hari lagi!" Marie sangat senang, tapi dia tetap khawatir. Kemarin daun itu dapat bertahan, tapi hari.ini atau besok pasti diaakan gugur juga. Marie benar-benar sudah pasrah, dia cuma bersyukur bahwa dia masih boleh bersama Joan pada hari ini.

Besoknya, kembali dengan tangan gemetar Marie membuka jendela, dan... daun itu masih tetap di sana! Marie tidak dapat memercayai hal ini, tapi dia amat senang. Dia mengucap syukur dengan tidak henti-hentinya. Beberapa hari setelah itu, daun itu masih tetap bertahan. Pada hari berikutnya, Joan tersenyum dan berkata kepada Marie, "Daun itu menyadarkan aku. Kalau dia bisa sekuat itu, aku juga bisa. Tolong buatkan bubur, aku amat lapar."

Marie sangat gembira. Joan sudah mau makan dan semangat hidupnya tumbuh kembali. Hari demi hari Marie merawat Joan dan tiga minggu kemudian, Joan sudah berangsur-angsur pulih. Pada hari Minggu berikutnya, para pelukis berkumpul untuk kebaktian. Joan amat senang dapat berkumpul kembali dengan sahabat-sahabatnya itu. Tapi tiba-tiba dia merasa ada yang tidak hadir. "Adakah yang dapat mengatakan padaku di mana si tua Paul? Sewaktu aku terbaring sakit, dia sering datang membawakan kue kismis dan menghiburku. Waktu itu aku terlalu sakit untuk mempedulikannya, apakah ia kecewa dan oleh karena itu tidak pemah mengunjungiku lagi? Aku ingin minta maaf dan mengucapkan terima kasih padanya." Mendadak semuanya terdiam, dengan suara perlahan Marie menjawab, "Joan, bulan lalu pada pagi hari sesudah badai itu si tua Paul ditemukan meninggal di kamarnya. Ia meninggal kedinginan, di tangannya ia menggenggam sebuah kuas dan kaleng cat. Daun yang terakhir itu, merupakan karya terakhirnya. . . " (Dikutip dari "KORAN LANSIA" yang diterbitkan GKI Muara Karang, No. 47/Desember 2007)

No comments:

Post a Comment